Wisata
Budaya Tana Toraja adalah Obyek Wisata Sulawesi Selatan yang paling populer.Tana
Toraja merupakan objek wisata yang terkenal dengan kekayaan budayanya.
Kabupaten yang terletak sekitar 350 km sebelah utara Makassar itu sangat
terkenal dengan bentuk bangunan rumah adat serta Upacara Pemakamannya. Perjalanan
menuju Tana Toraja dapat menggunakan penerbangan domestik Makassar-Tana Toraja
selama 45 menit dari Bandara Hasanuddin Makassar. Dapat pula ditempuh dengan
kendaraan darat, yang membutuhkan waktu
tujuh jam.
Rumah adat Tongkonan
Foto Saya
didepan Rumah Adat Tongkonan
|
Tana Toraja
selain dikenal alamnya yang indah, kawasan ini juga dikenal dengan
masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi adat intiadat budayanya. Hal ini tercermin pada rumah adat Tongkonan yang terdapat di
Kampung Budaya Kete’ Kesu Kabupaten Toraja Utara.
Rumah adat
Tongkonan Tana Toraja ini berfungsi sebagai rumah tinggal masyarakat Toraja
yang dimiliki secara turun temurun oleh keluarga mereka. Namun Rumah Tongkonan yang dimiliki oleh
bangsawan Toraja dicirikan pada ragam ukiran serta menjadi rumah peninggalan
leluhur Layuk yang merupakan salah satu yang tertua di masyarakat Toraja. Dan
sekarang ini menjadi tujuan wisata unggulan Kabupaten Toraja Utara.
Ukiran yang
terdapat pada Rumah Tongkonan tersebut bermakna hubungan masyarakat Toraja
dengan Sang Pencipta. Sementara kepala dan tanduk kerbau yang terdapat di depan
rumah, menjadi sebuah simbol tanda derajat keluarga yang tinggal di rumah
tersebut. Konon, bila terdapat banyak tanduk kerbau yang terdapat pada hiasan
yang melekat di depan rumah tersebut maka semakin tinggi pula derajat keluarga
tersebut.
Goa Londa
Salah satu tempat pemakaman yang dikenal dan menjadi salah
satu destinasi wisata makam di Tana Toraja kita dapat mengunjungi obyek wisata
Goa Londa yang terletak di Desa Sadan Uai, Kecamatan Sanggalangi yang menyimpan
caatan sejarah pemakaman suku Toraja yang bermarga Tongkele. Tempat wisata situs bersejarah ini menyimpan banyak mayat
yang usianya mencapai ratusan tahun.
Dan obyek wisata Londa ini menjadi saksi peleburan agama dan
budaya yang tetap berjalan secara beriringan. Konon, di lokasi ini terdapat 3 rumpun keluaraga
yang masih dalam satu keturunan. Dimana semain tinggi letak tempat kuburannya,
maka semakin tinggi pula derajat orang tersebut.
Pekuburan
Bayi Kambira
Pekuburan
Bayi Kambira merupakan sebuah kompleks
kuburan khusus untuk bayi (baby graves). Terletak di Kampung Kambira, Kecamatan
Sangalla, sekitar 20 km dari Rantepao. Jenazah bayi yang belum tumbuh gigi
dikuburkan di atas pohon tarra (Tidak dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun
terakhir), pohon tempat “menyimpan” mayat bayi itu masih tetap tegak dan banyak
dikunjungi wisatawan.
Jenazah
dimasukkan ke batang pohon, yang terlebih dahulu batang pohon itu dilubangi ,
lalu ditutupi dengan serat ijuk .masyarakat Tana Toraja tetap menganggap tempat
tersebut suci seperti anak yang baru lahir.Penempatan jenazah bayi di pohon
ini, sesuai dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi derajat sosial
keluarga itu maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di batang pohon
tarra.Bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga
yang berduka. .Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan menyatu dengan
pohon dan merupakan daya tarik untuk wisatawan.
Pilihan
Pohon Tarra‘ sebagai pekuburan karena pohon ini memiliki banyak getah, yang
dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Mereka menganggap seakan akan bayi
tersebut dikembalikan ke rahim ibunya dan berharap, pengembalian bayi ini ke
rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian.Pemakaman ini
hanya dilakukan oleh orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada
leluhur). Pelaksanaan Upacara secara sederhana. Bayi yang dikuburkan begitu
saja tanpa di bungkus, ibarat bayi yang masih berada di rahim ibunya.
Tradisi Ma’nene
Salah satu
tradisi khas Tana Toraja yang telah menjadi destinasi wisata tradisi populer
bagi turis lokal maupun mancanegara adalah tradisi Ma’nene. Tradisi Ma’nene
merupakan tradisi mengenang leluhur dengan cara membersihkan dan menggantikan
baju mayat para leluhur masyarakat Tana Toraja.
Tradisi ini
secara khusus dilakukan oleh masyarakat Baruppu yang tinggal di pedalaman
Toraja Utara.Bagi masyarakat di wilayah Baruppu, mayat atau jenazah kerabat
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari anggota keluarga yang masih hidup.
Selain itu, Masyarakat Baruppu memiliki kepercayaan bahwa meskipun secara jasad
telah meninggal, arwah para leluhur tetap “hidup” dan mengawasi keturunannya
dari alam lain.
Oleh karena itu,
setiap 3 tahun sekali atau sekitar bulan Agustus saat telah lewat masa panen,
dilakukan “pembersihan” terhadap mayat atau jenazah kerabat mereka. Caranya
adalah dengan mengeluarkan “mumi” jenazah dari dalam peti untuk dibersihkan dan
digantikan pakaiannya dengan pakaian yang baru. Tidak hanya dipakaikan pakaian
baru, mayat para leluhur ini juga didandani dengan rapi selayaknya orang yang
akan menghadiri sebuah pesta. Keluarga mayat tersebut biasanya memangku,
mendirikan, dan menjaga mayat agar tidak menyentuh dasar tanah karena hal itu
merupakan pantangan dalam tradisi ini. Uniknya, mayat para leluhur masyarakat
Toraja ini bisa berdiri dengan tegak dan berjalan layaknya masih hidup. Hal
tersebut diyakini bisa terjadi karena doa-doa dan mantra-mantra yang
dipanjatkan para tetua dan pemimpin tradisi sebelum tradisi dimulai. Jangan
coba-coba menyentuh mayat yang sedang berdiri atau berjalan. Jika mayat yang
sedang berdiri atau berjalan ini terkena sentuhan, efek mantra atau hipnotisnya
akan hilang dan mayat tersebut akan terjatuh. Selain itu, orang yang menyentuh
mayat tersebut hingga jatuh adalah orang yang wajib membangunkan mayat itu
kembali ke posisi semula. Para wisatawan yang hadir dalam tradisi ini biasanya
akan diingatkan secara keras oleh para tetua adat yang memimpin tradisi ini.
Lalu, ke manakah
mayat-mayat ini berjalan? Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa mayat-mayat
leluhur ini akan berjalan pulang ke rumahnya masing-masing. Ketika sampai di
rumah, mayat-mayat ini akan berbaring seperti sedia kala.Untuk budaya unik yang
satu ini, kita patut berbangga. Pasalnya, kebanyakan wisatawan mancanegara
sangat tertarik untuk melihat tradisi “mumi” yang seringkali dianggap mustahil
ini.Jika ingin melihat langsung tradisi ini, pastikan Anda datang ke Tana
Toraja sekitar bulan Juli—Agustus.
Rambu solo
Destinasi wisata
tradisi lainnya yang tidak kalah populer di Tana Toraja adalah Upacara Rambu
Solo. Jika tradisi Ma’nene merupakan ritual “pembersihan” jenazah para leluhur,
lain halnya dengan Upacara Rambu Solo yang merupakan ritual penguburan khusus
bagi orang-orang yang telah meninggal.Tana Toraja memang terkenal sebagai salah
satu daerah di Indonesia yang masih memiliki kepercayaan kuat terhadap hal-hal
gaib dan mistis.
Oleh karena itu,
masyarakat Tana Toraja memiliki banyak kebudayaan dan tradisi yang berkaitan
dengan mayat, arwah, atau hal-hal mistis lainnya. Hal inilah yang kemudian
menjadi daya tarik bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk
mengunjungi Tana Toraja.Bagi masyarakat Tana Toraja, orang-orang yang telah
meninggal dianggap seperti orang yang sedang sakit. Atas dasar kepercayaan
tersebut, mereka yang telah meninggal masih terus dirawat dan diperlakukan
layaknya orang yang hidup salah satunya dengan disediakan makanan dan minuman,
rokok, sirih, dan beragam sesajen lainnya.Masyarakat Tana Toraja memiliki
kepercayaan bahwa orang yang telah meninggal harus diberikan upacara penguburan
yang layak dengan aturan-aturan tertentu. Tanpa dilakukannya upacara penguburan
Rambu Solo, konon arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan bencana
dan kemalangan bagi orang atau kerabat yang ditinggalkannya.
Upacara Rambu
Solo merupakan upacara penguburan yang terdiri atas rangkaian kegiatan yang
cukup banyak, membutuhkan biaya yang besar, serta persiapan yang berbulan-bulan
lamanya. Selama menunggu persiapan upacara ini, jenazah orang yang telah
meninggal tidak dikuburkan melainkan disimpan di rumah leluhur (Tongkonan)
dengan dibungkus kain terlebih dahulu. Salah satu ciri khas dari upacara ini
adalah adanya kegiatan wajib memotong kerbau dan babi dengan jumlah yang
ditentukan tetua adat. Biasanya, semakin kaya dan tinggi pangkat seseorang di
Toraja, biaya upacara pemakaman yang dikeluarkan pun akan semakin mahal.Jika
orang yang meninggal berasal dari kalangan bangsawan, keluarga bangsawan tersebut
harus mengadakan upacara Rambu Solo dengan memotong kerbau dan babi sekitar 24
sampai dengan 100 ekor. Satu di antara sekian jumlah kerbau tersebut harus
merupakan kerbau belang yang terkenal memiliki harga sangat fantastis sekitar
500 juta hingga 1 miliar.Hal yang unik sekaligus menegangkan dari upacara ini
adalah kerbau-kerbau yang menjadi kurban tersebut tidak dipotong selayaknya
hewan ternak, melainkan dipotong dengan satu kali tebasan sebilah parang tajam
pada lehernya. Kerbau pun akan langsung mati terkapar sesaat setelah tebasan
parang itu.
Mengapa harus
kerbau? Masyarakat Tana Toraja memiliki kepercaaan bahwa arwah dari orang yang
telah meninggal membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanan menuju Puya atau
alam akhirat. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin cepat juga arwah
tersebut akan sampai ke Puya.Upacara Rambu Solo biasanya berlangsung selama
berhari-hari sekitar 2—3 hari dan dimulai pada saat siang hari. Untuk kalangan
bangsawan, biasanya upacara ini berlangsung hampir 2 minggu lamanya.
Kegiatan lain
dalam upacara ini selain pemotongan kerbau adalah menyiapkan kuburan bagi
jenazah yang akan dikuburkan.Kuburan tersebut dibuat di bagian atas tebing
bukit batu yang tinggi. Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa semakin tinggi
jenazah diletakkan, akan semakin cepat juga arwah jenazah tersebut sampai ke
surga atau nirwana.Upacara ini juga dilengkapi dengan iringan musik, nyanyian,
lagu-lagu, puisi, dan lain sebagainya. Selama upacara berlangsung, jenazah
orang yang telah meninggal tetap disimpan di rumah leluhur (Tongkonan). Arwah
jenazah ini dipercaya masih berada di desa atau di sekitar tempat tinggalnya
sampai upacara selesai. Setelah upacara selesai, jenazah baru akan dikuburkan
di kuburan yang telah dipersiapkan. Saat itulah masyarakat Tana Toraja percaya
bahwa arwah dari jenazah tersebut akan memulai perjalanan menuju Puya.
Analisis
Saya
sendiri pernah mengunjungi Tana Toraja beberapa kali karena ayah saya berasal
dari Tana Toraja. Berdasarkan pengalaman
saya, kurang lebih 10 tahun yang lalu kehidupan masyarakat Tana Toraja masih
sangat terbatas, seperti sulitnya mendapatkan akses air bersih, lalu aliran
listrik yang tidak merata dan hanya bisa dirasakan oleh beberapa rumah
saja. Disamping itu memang benar akses
transportasi menjadi kendala yang kami rasakan. Perjalanan dari Makassar menuju
Tana Toraja membutuhkan waktu 7 hingga 8 jam perjalanan. Dikarenakan desa yang
akan kami kunjungi berada di atas gunung, bus yang kami tumpangi tidak berani
melanjutkan perjalanan dikarenakan jalanan yang curam dengan tekstur tanah
liat. Hal tersebut mengharuskan kami menggunakan pick up untuk sampai ke atas.
4
tahun kemudian, kami kembali mengunjungi Tana Toraja, setelah 4 tahun berlalu,
banyak perubahan yang saya rasakan. Kami kembali menggunakan akses transportasi
darat dari Makassar menuju Tana Toraja dengan rentang waktu yang sama. Namun,
kali ini kendaraan yang kami gunakan bisa mengantarkan kami sampai atas desa,
karena jalan yang dulunya bertekstur tanah liat kini sudah di aspal. Perubahan
lain yang saya rasakan adalah telah adanya akses air bersih ke rumah-rumah
warga, begitupula dengan aliran listrik yang sudah bisa dirasakan secara
merata.
Namun
setiap perkembangan pasti diiringi dengan penurunan kualitas alam. Tidak
seperti kunjungan sebelumnya dimana suhu Tana Toraja begitu dingin, kini saya
merasakan adanya kenaikan suhu yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh
merebaknya pembangunan di Tana Toraja, baik hotel, restoran, dan fasilitas
pendukung lainnya. Kemajuan sarana transportasi di Toraja yang diiringi dengan
kepopuleran Tana Toraja sebagai objek wisata di Sulawesi Selatan, menyebabkan banyaknya
turis lokal maupun mancanegara berwisata
ke Tana Toraja. Hal tersebut berujung pada pembangunan sarana prasarana
yang semakin ditingkatkan dan berimbas pada kualitas alam setempat.
Selalu
ada dampak positif dan negatif di setiap wilayah yang menjadi tujuan wisata
seperti di Tana Toraja. Berikut contohnya:
Dampak Positif Pariwisata :
- Pariwisata membawa banyak investasi yang dibutuhkan di suatu daerah.
- Pariwisata menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, mulai dari bekerja di restoran dan hotel, tour guide, menjual pernak pernik dan kuliner khas Tana Toraja, bahkan masyarakat setempat juga bisa menyewakan rumahnya bagi para wisatawan yang mungkin kehabisan tempat di hotel.
- Pariwisata dapat membantu untuk melestarikan budaya dan kearifan masyarakat setempat , karena mereka menjadi objek wisata .
- Dibangunnya fasilitas dan infrastruktur yang lebih baik demi kenyamanan para wisatawan yang juga secara langsung dan tidak langsung bisa dipergunakan oleh penduduk lokal pula. Seperti : tempat rekreasi, mall, dan lain-lain.
Dampak
Negatif Pariwisata :
- Banyaknya wisatawan yang masuk menambah besar kerusakan lingkungan terutama dari sampah.
- Terjadinya pencemaran air dan polusi udara diakibatkan oleh pembangunan fasilitas dan infrastruktur pariwisata
- Masuknya kebiasaan hidup yang berbahaya contohnya narkoba, dari negara lain bagi generasi muda.
- Alokasi sumber daya alam
Saran
Seiring
semakin terkenalnya Tana Toraja sebagai
destinasi pariwisata di Indonesia, dan ditambah lagi saat ini perjalanan ke
Tana Toraja sudah dapat dicapai menggunakan penerbangan domestic, maka dapat
dipastikan kemajuan transportasi tersebut semakin meningkatkan jumlah para
turis yang berkunjung ke Tana Toraja. Maka dari itu diperlukan keterlibatan
seluruh pemangku kepentingan mulai masyarakat, pengusaha, sampai pemerintah
daerah dan pusat sehingga memberikan benefit kepada semua pihak. Dengan adanya
kerjasama dari seluruh pihak yang terkait diharapkan terjadi kesinambungan
antara satu sama lain.
Imbas
dari dampak negatif pariwisata juga harus diperhatikan oleh seluruh pihak,
seperti dilakukan perbaikan secara terus
menerus dan memperhatikan pelestarian serta aspek-aspek lingkungan, budaya, dan
masyarakat. Masyarakat juga diharapkan
memiliki kesamaan visi dan misi untuk mengelola objek wisata setempat dan
adanya persiapan sosial masyarakat dalam menerima Tana Toraja sebagai daerah wisata.
Toraja keren Daya tarik wisata Toraja
BalasHapus