Rabu, 21 Desember 2016

Wisata Budaya di Tana Toraja, Indonesia


Wisata Budaya Tana Toraja adalah Obyek Wisata Sulawesi Selatan yang paling populer.Tana Toraja merupakan objek wisata yang terkenal dengan kekayaan budayanya. Kabupaten yang terletak sekitar 350 km sebelah utara Makassar itu sangat terkenal dengan bentuk bangunan rumah adat serta Upacara Pemakamannya. Perjalanan menuju Tana Toraja dapat menggunakan penerbangan domestik Makassar-Tana Toraja selama 45 menit dari Bandara Hasanuddin Makassar. Dapat pula ditempuh dengan kendaraan  darat, yang membutuhkan waktu tujuh jam. 

Rumah adat Tongkonan


Foto Saya didepan Rumah Adat Tongkonan
 
    

Tana Toraja selain dikenal alamnya yang indah, kawasan ini juga dikenal dengan masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi adat intiadat budayanya. Hal ini tercermin pada rumah adat Tongkonan yang terdapat di Kampung Budaya Kete’ Kesu Kabupaten Toraja Utara.


Rumah adat Tongkonan Tana Toraja ini berfungsi sebagai rumah tinggal masyarakat Toraja yang dimiliki secara turun temurun oleh keluarga mereka.  Namun Rumah Tongkonan yang dimiliki oleh bangsawan Toraja dicirikan pada ragam ukiran serta menjadi rumah peninggalan leluhur Layuk yang merupakan salah satu yang tertua di masyarakat Toraja. Dan sekarang ini menjadi tujuan wisata unggulan Kabupaten Toraja Utara.

Ukiran yang terdapat pada Rumah Tongkonan tersebut bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan Sang Pencipta. Sementara kepala dan tanduk kerbau yang terdapat di depan rumah, menjadi sebuah simbol tanda derajat keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Konon, bila terdapat banyak tanduk kerbau yang terdapat pada hiasan yang melekat di depan rumah tersebut maka semakin tinggi pula derajat keluarga tersebut.

Goa Londa



Salah satu tempat pemakaman yang dikenal dan menjadi salah satu destinasi wisata makam di Tana Toraja kita dapat mengunjungi obyek wisata Goa Londa yang terletak di Desa Sadan Uai, Kecamatan Sanggalangi yang menyimpan caatan sejarah pemakaman suku Toraja yang bermarga Tongkele. Tempat wisata situs bersejarah ini menyimpan banyak mayat yang usianya mencapai ratusan tahun. 

Dan obyek wisata Londa ini menjadi saksi peleburan agama dan budaya yang tetap berjalan secara beriringan.  Konon,  di lokasi ini terdapat 3 rumpun keluaraga yang masih dalam satu keturunan. Dimana semain tinggi letak tempat kuburannya, maka semakin tinggi pula derajat orang tersebut.

Pekuburan Bayi Kambira

 Pekuburan Bayi Kambira  merupakan sebuah kompleks kuburan khusus untuk bayi (baby graves). Terletak di Kampung Kambira, Kecamatan Sangalla, sekitar 20 km dari Rantepao. Jenazah bayi yang belum tumbuh gigi dikuburkan di atas pohon tarra (Tidak dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun terakhir), pohon tempat “menyimpan” mayat bayi itu masih tetap tegak dan banyak dikunjungi wisatawan.  


Jenazah dimasukkan ke batang pohon, yang terlebih dahulu batang pohon itu dilubangi , lalu ditutupi dengan serat ijuk .masyarakat Tana Toraja tetap menganggap tempat tersebut suci seperti anak yang baru lahir.Penempatan jenazah bayi di pohon ini, sesuai dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi letak bayi yang dikuburkan di batang pohon tarra.Bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga yang berduka. .Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan menyatu dengan pohon dan merupakan daya tarik untuk wisatawan.

Pilihan Pohon Tarra‘ sebagai pekuburan karena pohon ini memiliki banyak getah, yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Mereka menganggap seakan akan bayi tersebut dikembalikan ke rahim ibunya dan berharap, pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang lahir kemudian.Pemakaman ini hanya dilakukan oleh orang Toraja pengikut Aluk Todolo (kepercayaan kepada leluhur). Pelaksanaan Upacara secara sederhana. Bayi yang dikuburkan begitu saja tanpa di bungkus, ibarat bayi yang masih berada di rahim ibunya.



Tradisi Ma’nene
 


Salah satu tradisi khas Tana Toraja yang telah menjadi destinasi wisata tradisi populer bagi turis lokal maupun mancanegara adalah tradisi Ma’nene. Tradisi Ma’nene merupakan tradisi mengenang leluhur dengan cara membersihkan dan menggantikan baju mayat para leluhur masyarakat Tana Toraja.
Tradisi ini secara khusus dilakukan oleh masyarakat Baruppu yang tinggal di pedalaman Toraja Utara.Bagi masyarakat di wilayah Baruppu, mayat atau jenazah kerabat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari anggota keluarga yang masih hidup. Selain itu, Masyarakat Baruppu memiliki kepercayaan bahwa meskipun secara jasad telah meninggal, arwah para leluhur tetap “hidup” dan mengawasi keturunannya dari alam lain.

Oleh karena itu, setiap 3 tahun sekali atau sekitar bulan Agustus saat telah lewat masa panen, dilakukan “pembersihan” terhadap mayat atau jenazah kerabat mereka. Caranya adalah dengan mengeluarkan “mumi” jenazah dari dalam peti untuk dibersihkan dan digantikan pakaiannya dengan pakaian yang baru. Tidak hanya dipakaikan pakaian baru, mayat para leluhur ini juga didandani dengan rapi selayaknya orang yang akan menghadiri sebuah pesta. Keluarga mayat tersebut biasanya memangku, mendirikan, dan menjaga mayat agar tidak menyentuh dasar tanah karena hal itu merupakan pantangan dalam tradisi ini. Uniknya, mayat para leluhur masyarakat Toraja ini bisa berdiri dengan tegak dan berjalan layaknya masih hidup. Hal tersebut diyakini bisa terjadi karena doa-doa dan mantra-mantra yang dipanjatkan para tetua dan pemimpin tradisi sebelum tradisi dimulai. Jangan coba-coba menyentuh mayat yang sedang berdiri atau berjalan. Jika mayat yang sedang berdiri atau berjalan ini terkena sentuhan, efek mantra atau hipnotisnya akan hilang dan mayat tersebut akan terjatuh. Selain itu, orang yang menyentuh mayat tersebut hingga jatuh adalah orang yang wajib membangunkan mayat itu kembali ke posisi semula. Para wisatawan yang hadir dalam tradisi ini biasanya akan diingatkan secara keras oleh para tetua adat yang memimpin tradisi ini.

Lalu, ke manakah mayat-mayat ini berjalan? Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa mayat-mayat leluhur ini akan berjalan pulang ke rumahnya masing-masing. Ketika sampai di rumah, mayat-mayat ini akan berbaring seperti sedia kala.Untuk budaya unik yang satu ini, kita patut berbangga. Pasalnya, kebanyakan wisatawan mancanegara sangat tertarik untuk melihat tradisi “mumi” yang seringkali dianggap mustahil ini.Jika ingin melihat langsung tradisi ini, pastikan Anda datang ke Tana Toraja sekitar bulan Juli—Agustus.

Rambu solo


Destinasi wisata tradisi lainnya yang tidak kalah populer di Tana Toraja adalah Upacara Rambu Solo. Jika tradisi Ma’nene merupakan ritual “pembersihan” jenazah para leluhur, lain halnya dengan Upacara Rambu Solo yang merupakan ritual penguburan khusus bagi orang-orang yang telah meninggal.Tana Toraja memang terkenal sebagai salah satu daerah di Indonesia yang masih memiliki kepercayaan kuat terhadap hal-hal gaib dan mistis.

Oleh karena itu, masyarakat Tana Toraja memiliki banyak kebudayaan dan tradisi yang berkaitan dengan mayat, arwah, atau hal-hal mistis lainnya. Hal inilah yang kemudian menjadi daya tarik bagi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk mengunjungi Tana Toraja.Bagi masyarakat Tana Toraja, orang-orang yang telah meninggal dianggap seperti orang yang sedang sakit. Atas dasar kepercayaan tersebut, mereka yang telah meninggal masih terus dirawat dan diperlakukan layaknya orang yang hidup salah satunya dengan disediakan makanan dan minuman, rokok, sirih, dan beragam sesajen lainnya.Masyarakat Tana Toraja memiliki kepercayaan bahwa orang yang telah meninggal harus diberikan upacara penguburan yang layak dengan aturan-aturan tertentu. Tanpa dilakukannya upacara penguburan Rambu Solo, konon arwah orang yang meninggal tersebut akan memberikan bencana dan kemalangan bagi orang atau kerabat yang ditinggalkannya.

Upacara Rambu Solo merupakan upacara penguburan yang terdiri atas rangkaian kegiatan yang cukup banyak, membutuhkan biaya yang besar, serta persiapan yang berbulan-bulan lamanya. Selama menunggu persiapan upacara ini, jenazah orang yang telah meninggal tidak dikuburkan melainkan disimpan di rumah leluhur (Tongkonan) dengan dibungkus kain terlebih dahulu. Salah satu ciri khas dari upacara ini adalah adanya kegiatan wajib memotong kerbau dan babi dengan jumlah yang ditentukan tetua adat. Biasanya, semakin kaya dan tinggi pangkat seseorang di Toraja, biaya upacara pemakaman yang dikeluarkan pun akan semakin mahal.Jika orang yang meninggal berasal dari kalangan bangsawan, keluarga bangsawan tersebut harus mengadakan upacara Rambu Solo dengan memotong kerbau dan babi sekitar 24 sampai dengan 100 ekor. Satu di antara sekian jumlah kerbau tersebut harus merupakan kerbau belang yang terkenal memiliki harga sangat fantastis sekitar 500 juta hingga 1 miliar.Hal yang unik sekaligus menegangkan dari upacara ini adalah kerbau-kerbau yang menjadi kurban tersebut tidak dipotong selayaknya hewan ternak, melainkan dipotong dengan satu kali tebasan sebilah parang tajam pada lehernya. Kerbau pun akan langsung mati terkapar sesaat setelah tebasan parang itu.

Mengapa harus kerbau? Masyarakat Tana Toraja memiliki kepercaaan bahwa arwah dari orang yang telah meninggal membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanan menuju Puya atau alam akhirat. Semakin banyak kerbau yang disembelih, semakin cepat juga arwah tersebut akan sampai ke Puya.Upacara Rambu Solo biasanya berlangsung selama berhari-hari sekitar 2—3 hari dan dimulai pada saat siang hari. Untuk kalangan bangsawan, biasanya upacara ini berlangsung hampir 2 minggu lamanya.

Kegiatan lain dalam upacara ini selain pemotongan kerbau adalah menyiapkan kuburan bagi jenazah yang akan dikuburkan.Kuburan tersebut dibuat di bagian atas tebing bukit batu yang tinggi. Masyarakat Tana Toraja percaya bahwa semakin tinggi jenazah diletakkan, akan semakin cepat juga arwah jenazah tersebut sampai ke surga atau nirwana.Upacara ini juga dilengkapi dengan iringan musik, nyanyian, lagu-lagu, puisi, dan lain sebagainya. Selama upacara berlangsung, jenazah orang yang telah meninggal tetap disimpan di rumah leluhur (Tongkonan). Arwah jenazah ini dipercaya masih berada di desa atau di sekitar tempat tinggalnya sampai upacara selesai. Setelah upacara selesai, jenazah baru akan dikuburkan di kuburan yang telah dipersiapkan. Saat itulah masyarakat Tana Toraja percaya bahwa arwah dari jenazah tersebut akan memulai perjalanan menuju Puya.

Analisis 

Saya sendiri pernah mengunjungi Tana Toraja beberapa kali karena ayah saya berasal dari Tana Toraja.  Berdasarkan pengalaman saya, kurang lebih 10 tahun yang lalu kehidupan masyarakat Tana Toraja masih sangat terbatas, seperti sulitnya mendapatkan akses air bersih, lalu aliran listrik yang tidak merata dan hanya bisa dirasakan oleh beberapa rumah saja.  Disamping itu memang benar akses transportasi menjadi kendala yang kami rasakan. Perjalanan dari Makassar menuju Tana Toraja membutuhkan waktu 7 hingga 8 jam perjalanan. Dikarenakan desa yang akan kami kunjungi berada di atas gunung, bus yang kami tumpangi tidak berani melanjutkan perjalanan dikarenakan jalanan yang curam dengan tekstur tanah liat. Hal tersebut mengharuskan kami menggunakan pick up untuk sampai ke atas. 


4 tahun kemudian, kami kembali mengunjungi Tana Toraja, setelah 4 tahun berlalu, banyak perubahan yang saya rasakan. Kami kembali menggunakan akses transportasi darat dari Makassar menuju Tana Toraja dengan rentang waktu yang sama. Namun, kali ini kendaraan yang kami gunakan bisa mengantarkan kami sampai atas desa, karena jalan yang dulunya bertekstur tanah liat kini sudah di aspal. Perubahan lain yang saya rasakan adalah telah adanya akses air bersih ke rumah-rumah warga, begitupula dengan aliran listrik yang sudah bisa dirasakan secara merata. 

Namun setiap perkembangan pasti diiringi dengan penurunan kualitas alam. Tidak seperti kunjungan sebelumnya dimana suhu Tana Toraja begitu dingin, kini saya merasakan adanya kenaikan suhu yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan oleh merebaknya pembangunan di Tana Toraja, baik hotel, restoran, dan fasilitas pendukung lainnya. Kemajuan sarana transportasi di Toraja yang diiringi dengan kepopuleran Tana Toraja sebagai objek wisata di Sulawesi Selatan, menyebabkan banyaknya turis lokal maupun mancanegara berwisata  ke Tana Toraja. Hal tersebut berujung pada pembangunan sarana prasarana yang semakin ditingkatkan dan berimbas pada kualitas alam setempat.

Selalu ada dampak positif dan negatif di setiap wilayah yang menjadi tujuan wisata seperti di Tana Toraja. Berikut contohnya: 

Dampak Positif Pariwisata :

  •  Pariwisata membawa banyak investasi yang dibutuhkan di suatu daerah.
  • Pariwisata menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, mulai dari bekerja di restoran dan hotel, tour guide, menjual pernak pernik dan kuliner khas Tana Toraja, bahkan masyarakat setempat juga bisa menyewakan rumahnya bagi para wisatawan yang mungkin kehabisan tempat di hotel.
  • Pariwisata dapat membantu untuk melestarikan budaya dan kearifan masyarakat setempat , karena mereka menjadi objek wisata .
  • Dibangunnya fasilitas dan infrastruktur yang lebih baik demi kenyamanan para wisatawan yang juga secara langsung dan tidak langsung bisa dipergunakan oleh penduduk lokal pula. Seperti : tempat rekreasi, mall, dan lain-lain.
Dampak Negatif Pariwisata :
  • Banyaknya wisatawan yang masuk menambah besar kerusakan lingkungan terutama dari sampah.
  • Terjadinya pencemaran air dan polusi udara diakibatkan oleh pembangunan fasilitas dan infrastruktur pariwisata
  • Masuknya kebiasaan hidup yang berbahaya contohnya narkoba, dari negara lain bagi generasi muda.
  • Alokasi sumber daya alam


Saran
Seiring semakin  terkenalnya Tana Toraja sebagai destinasi pariwisata di Indonesia, dan ditambah lagi saat ini perjalanan ke Tana Toraja sudah dapat dicapai menggunakan penerbangan domestic, maka dapat dipastikan kemajuan transportasi tersebut semakin meningkatkan jumlah para turis yang berkunjung ke Tana Toraja. Maka dari itu diperlukan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan mulai masyarakat, pengusaha, sampai pemerintah daerah dan pusat sehingga memberikan benefit kepada semua pihak. Dengan adanya kerjasama dari seluruh pihak yang terkait diharapkan terjadi kesinambungan antara satu sama lain.

Imbas dari dampak negatif pariwisata juga harus diperhatikan oleh seluruh pihak, seperti  dilakukan perbaikan secara terus menerus dan memperhatikan pelestarian serta aspek-aspek lingkungan, budaya, dan masyarakat. Masyarakat  juga diharapkan memiliki kesamaan visi dan misi untuk mengelola objek wisata setempat dan adanya persiapan sosial masyarakat dalam menerima  Tana Toraja sebagai daerah wisata.






1 komentar: